BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pancasila
adalah dasar dari filsafat Negara Indonesia, sebagaimana tercantum dalam
pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, setiap warga Negara Indonesia wajib untuk
mempelajari, menghayati, mendalami dan menerapkan nilai-nilai pancasila dalam setiap
bidang kehidupan.
Dalam
kehidupan bangsa Indonesia, diakui bahwa nilai-nilai pancasila adalah filsafat
hidup atau pandangan yang berkembang dalam sosial-budaya Indonesia. Nilai
pancasila dianggap nilai dasar dan puncak atau sari dari budaya bangsa. Oleh
karena itu, nilai ini diyakini sebagai jiwa dan kepribadian bangsa. Dengan
mendasarnya nilai ini dalam menjiwai dan memberikan indentitas, maka pengakuan
atas kedudukan pancasila sebagai falsafah adalah wajar.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan filsafat?
2.
Apa
yang dimaksud dengan filsafat Pancasila?
3.
Apa
yang dimaksud dengan Ideologi?
4.
Apa
dasar-dasar pancasila sebagai sistem filsafat?
5.
Bagaimana
Pancasila sebagai Ideologi bangsa dan negara Indonesia?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan makalah ini dubuat untuk menambah pemahaman mahasiswa
tentang Filsafat Pancasila dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Filsafat dan Filsafat Pancasila
2.1.1. Pengertian Filsafat
Pengertian tentang arti istilah
“filsafat” dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu arti secara etimologis,
arti secara historis, dan arti secara terminologis.
1. Arti
Istilah Filsafat Secara Etimologis
Secara
etimologis istilah “filsafat” berasal dari bahasa Yunani “philosophia”. Arti
“philosophia” itu menjelaskan bentukan dari kata asal “phila” atau “philein”
yang berarti “cinta” atau “ingin”, dan kata “Sophia” yang berarti “bijaksana”
atau “pandai” yaitu “tahu secara mendalam. Jadi istilah “philosophia” atau
“filsafat” itu berarti cinta pada kebijaksanaan dan ingin pandai atau ingin
tahu secara mendalam. Maksudnya ialah bahwa orang yang berfilsafat adalah orang
yang mendambakan kebijaksanaan dan mendambakan pengetahuan yang
sedalam-dalamnya.
2. Arti
Istilah Filsafat Secara Historis
Secara historis istilah “filsafat”
mula-mula dipergunakan oleh Pytagoras (582-496 SM), seorang matematikus dan
filsuf Yunani. Pada masa itu istilah “filsafat” masih dipergunakan secara umum
dalam arti yang sangat luas, yaitu untuk menyebut semua disiplin ilmu yang ada
pada waktu itu. Pada masa itu semua ilmu pengetahuan atau semua disiplin ilmu
semuanya disebut “filsafat”. Dalam perkembangan selanjutnya dari filsafat itu
kemudian muncul berbagai cabang ilmu yang mandiri. Atas dasar itu maka filsafat
merupakan induk dari segala ilmu pengetahuan. Selain filsafat “menyapih”
cabang-cabang ilmu dari dirinya sendiri, maka kini filsafat menjadi dasar,
perangka, dan pemersatu dari cabang-cabang ilmu itu. Kini filsafat menjadi
inter disipliner.
3. Arti Istilah Filsafat Secara Termonologis
Secara termonologis istilah “Filsafat” diartikan sebagai (1) Azas atau
pendirian hidup, dan (2) Ilmu pengetahuan yang terdalam. Filsafat sebagai “Azas
atau pendirian hidup” adalah merupkan dasar pedoman bagi sikap dan tingkah laku
Manusia dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan filsafat sebagai “Ilmu
pengetahuan yang terdalam” adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu secara
mendalam guna menemukan hakikatnya.
4. Definisi Filsafat
Berdasarkan pengertian tentang “filsafat”, dapatlah disimpulkan definisi
tentang “filsafat”. Yang dimaksud dengan “filsafat” ialah suatu azas atau
pendirian hidup yang paling mendasar, dan ilmu yang menyelidiki hakikat
terdalam dari segala sesuatu.
2.2.2. Pengertian Filsafat Pancasila
1. Pengertian
Filsafat Pancasila Menurut Para Ahli
Soekarno
Soekarno manyatakan bahwa pancasila
merupakan filsafat asli Indonesia yang diambil dari budaya dan tradisi
Indonesia dan akulturasi budaya india (hindu-budha), Barat (Kristen) dan Arab
(Islam). Beliau berpendapat bahwa (ketuhanan) ialah asli berasal dari Indonesia
(keadilan sosial) terinpirasi dari konsep ratu adil, Soekarno tidak pernah
menyinggung atau memprogandakan (persatuan).
Soeharto
Sedangkan oleh Presiden Soeharto
filsafat pancasila mengalami perubahan, melalui filsuf-filsuf yang disponsori
Depdikbud semua elemen Barat disingkirkan dan diganti interpretasinya dalam
budaya Indonesia sehingga menghasilkan (pancasila truly Indonesia). Semua sila
dalam pancasila ialah asli Indonesia dan pancasila dijabarkan menjadi lebih
rinci yakni dalam butir-butir pancasila.
Ruslan
Abdulgani
Ruslan Abdulgani berpendapat bahwa
Pancasila adalah filsafat negara yang lahir sebagai ideologi kolektif
(cita-cita bersama) seluruh bangsa Indonesia.
Notonagoro
Notonagoro mengartikan bahwa Filsafat
Pancasila ini memberikan pengetahuan dan pengertian ilmiah yaitu tentang
hakikat pancasila.
Secara ontologi, kajian pancasila
sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui hakikat dasar
sila-sila pancasila.
Sedangkan menurut seorang ahli
bernama Notonagoro, hakikat dasar antologi pancasila adalah manusia, karena
manusia ini yang merupakan subjek hukum pokok sila-sila pancasila.
2. Pengertian
Filsafat Pancasila Secara Umum
Pengertian Filsafat Pancasila adalah
hasil dari pemikiran yang paling dalam yang dianggap, dipercaya dan sangat diyakini
sebagai sesuatu (norma-norma dan nilai-nilai) yang paling dianggap benar,
paling adil, paling bijaksana, paling baik dan paling sesuai untuk bangsa
Indonesia.
2.2
Pancasila Sebagai Sistem Filsafat
Bangsa Indonesia sebelum mendirikan Negara Indonesia sudah memiliki
nilai-nilai luhur yang diyakini sebagai suatu pandangan hidup, jiwa, dan
kepribadian dalam pergaulan. Nilai-nilai luhur yang diyakini, sebagi suatu
pandangan hidup yang berkembang dalam masyarakat Indonesia sebelum bernegara
itulah yang kemudian oleh para pendiri Negara digali kembali, ditemukan,
dirumuskan, dan selanjutnya disepakati dalam rapat BPUPKI sebagai dasar
filsafat Negara (filosofische grondslag) dari Negara yang akan didirikan.
Nilai-nilai luhur yang diyakini sebagai suatu pandangan hidup masyarakat
Indonesia itu terdiri atas nilai keimanan dan ketaqwaan, nilai keadilan dan
keberadaban, nilai persatuan dan kesatuan, nilai mufakat, dan nilai
kesejahteraan. Nilai-nilai luhur tersebut kemudian disepakati oleh para pendiri
Negara sebagai dasar filsafat Negara Indonesia merdeka yang oleh Ir. Soekarno
diusulkan sebagai Pancasila. Pancasila adalah filsafat Negara yang lahir
sebagai cita-cita bersama dari seluruh bangsa Indonesia. Dikatakan sebagai
filsafat, karena Pancasila merupakan hasil perenungan jiwa yang mendalam yang
dilakukan oleh para pendiri Negara.
Dalam pengertian inilah maka sebelum masyarakat Indonesia menjadi
bangsa yang bernegara, nilai-nilai luhur Pancasila telah menjadi bagian dari
kehidupan pribadi masyarakatnya. Nilai-nilai Pancasila itu lalu dikembangkan
dan dilembagakan sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dan juga dilembagakan
sebagai pandangan hidup Negara. Pandangan hidup bangsa dapat disebut sebagai
ideologi dan pandangan hidup Negara dapat disebut sebagai ideologi Negara. Pancasila sebagai sistem filsafat memiliki
dasar ontologis, dasar epsitomologis, dan dasar aksiologis.
1.
Dasar Ontologis
Ontologi adalah cabang filsafat yang mengkaji tentang hakikat
segala sesuatu yang ada atau untuk menjawab pertanyaan “apakah kenyataan itu”.
Pancasila terdiri dari lima lima sila yang saling mengikat, sedangkan subjek
pendukung pokok Pancasila adalah manusia. Secara filsafat, Pancasila merupakan
dasar filsafat Negara. Oleh karena itu, pendukung pokok Negara adalah rakyat
dan unsur rakyat adalah manusia. Dengan demikian, hakikat dasar ontologis
sila-sila Pancasila adalah manusia. Manusia sebagai subjek hukum utama dan
sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hakikat mutlak monopluralis,
yaitu memiliki susunan kodrat : jiwa dan raga, rohani dan jasmani, sifat kodrat
mahkluk individu dan mahkluk sosial, dan kedudukan kodrat : makhluk pribadi dan
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Maka dari itu, secara hierarkis sila
pertama mendasari dan menjiwai keempat sila Pancasila.
2.
Dasar Epistomologis
Epistomologis adalah cabang filsafat yang mengkaji tentang apakah
kebenaran atau apakah hakikat ilmu pengetahuan. Upaya untuk mendapatkan jawaban
tentang kebenaran dilakukan pembuktian melalui ilmu pengetahuan. Oleh karena
itu, kajian epistomologis filsafat Pancasila dimaksudkan sebagai upaya untuk
mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Oleh karena hakikat
dasar ontologis Pancasila adalah manusia, maka kajian epistomologis Pancasila
tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya.
Ada tiga persoalan mendasar dalam kajian epistomologis, yaitu
1. tentang sumber
pengetahuan manusia;
2. tentang teori
kebenaran pengetahuan manusia;
3. tentang watak
pengetahuan manusia. Pancasila sebagai objek kajian epistomologis mencakup
peersoalan sumber dan susunan pengetahuan Pancasila.
Sumber Pengetahuan Pancasila adalah nilai-nilai yang ada pada
bangsa Indonesia sendiri yang dirumuskan oleh wakil-wakil bangsa Indonesia
ketika mendirikan Negara. Hal ini berarti bahwa nilai-nilai tersebut menjadi
kausa materialis Pancasila. Oleh karena sumber pengetahuan Pancasila adalah
manusia Indonesia dengan nilai-nilai yang dimiliknya (adat-istiadat, budaya,
dan agama) maka antara manusia Indonesia sebagai pendukung sila-sila Pancasila
dan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan terdapat kesesuaian yang
bersifat korespondensi.
Pancasila sebagai suatu sistem susunan pengetahuan memiliki susunan
bersifat normal logis baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi
arti sila-sila Pancasila. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila bersifat
hirarkis dan berbentuk pyramidal, dimana (1) sila pertama Pancasila mendasari
dan menjiwai keempat sila lainnya; (2) sila kedua dijiwai oleh sila pertama
serta mendasari dan menjiwai sila ketiga, keempat, dan kelima; (3) sila ketiga
dijiwai oleh sila pertama dan kedua serta mendasari dan menjiwai sila keempat
dan kelima; (4) sila keempat dijiwai sila pertama, kedua, dan, ketiga serta
mendasari dan menjiwai sila kelima; (5) sila kelima dijiwai oleh sila pertama,
kedua, ketiga, dan keempat.
Sebagai suatu paham epistomologis, Pancasila mendasarkan pandangan
bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus
diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religious
dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan dalam hidup manusia.
Itulah sebabnya Pancasila dalam kajian epistomologis harus menjadi dasar
moralitas bangsa dalam membangun perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3.
Dasar Aksiologis
Sila-sila Pancasila sebagai suatu
sistem filsafat juga memiliki satu kesatuan dasar aksiologisnya, sehingga
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang pada hakikatnya juga merupakan
suatu kesatuan.
Sebagaimana
dijelaskan Max Scheler
mengemukakan bahwa nilai-nilai yang ada, tidak sama luhurnya dan sama
tingginya. Nilai-nilai itu secara senyatanya ada yang lebih tinggi dan ada yang
lebih rendah dibandingkan dengan nilai-nilai lainnya. Menurut tinggi rendahnya
nilai dapat dikelompokkan menjadi empat tingkatan sebagai berikut
1. Nilai-nilai
kenikmatan : dalam tingkat ini terdapat nilai yang mengenakkan dan nilai yang
tidak mengenakkan, yang menyebabkan orang senang atau menderita.
2. Nilai-nilai
kehidupan : dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai yang penting dalam
kehidupan, seperti kesejahteraan, keadilan, kesegaran.
3. Nilai-nilai
kejiwaan : dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai kejiwaan (geistige werte)
yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan.
Nilai-nilai semacam ini misalnya, keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni
yang dicapai dalam filsafat.
4. Nilai-nilai
kerohanian : dalam tingkat ini terdapat moralitas nilai yang suci dan tidak
suci. Nilai semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi.
Menurut Walter G. Everet menggolongkan nilai-nilai manusiawi
ke dalam delapan kelompok, yaitu :
1.
Nilai-nilai
ekonomis : ditunjukkan oleh harga pasar dan meliputi semua benda yang dapat
dibeli.
2.
Nilai-nilai
kejasmanian : membantu pada kesehatan, efisiensi dan keindahan dari kehidupan
badan.
3.
Nilai-nilai
hiburan : nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang dapat menyumbangkan
pada pengayaan kehidupan.
4.
Nilai-nilai sosial
: berasal mula dari pelbagai bentuk perserikatan manusia.
5.
Nilai-nilai watak
: keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan sosial yang diinginkan.
6.
Nilai-nilai
estetis : nilai-nilai keindahan dalam alam dan karya seni.
7.
Nilai-nilai
intelektual : nilai-nilai pengetahuan dan pengajaran kebenaran.
8.
Nilai-nilai
keagamaan
Notonagoro membagi nilai menjadi
tiga, yaitu :
1.
Nilai material,
yaitu sesuatu yang berguna bagi manusia.
2.
Nilai vital, yaitu
sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat melaksanakana kegiatan atau
aktivitas.
3.
Nilai kerokhanian,
yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani yang dapat dibedakan menjadi
empat macam:
a.
Nilai kebenaran,
yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia.
b.
Nilai keindahan,
atau nilai estetis, yang bersumber pada unsur perasaan (aesthetis, rasa)
manusia.
c.
Nilai kebaikan,
atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak (will, karsa) manusia.
d.
Nilai religius,
yang merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini
bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia.
Masih banyak cara pengelompokan
nilai, misalnya seperti yang dilakukan N. Recher, yaitu pembagian berdasarkan
pembawa nilai, hakikat keuntungan yang diperoleh dan pula dengan pengelompokan
nilai menjadi nilai instrinsik dan ekstrinsik, nilai objektif dan nilai
subyektif nilai postif dan nilai negatif, dan sebaginya.
Notonagoro berpendapat bahwa
nilai-nilai Pancasila tergolong nilai-nilai kerohanian, tetapi nilai-nilai
kerohanian yang mengakui adanya nilai material dan nilai vital. Dengan demikian
nilai-nilai Pancasila tergolong nilai kerohanian itu juga mengandung
nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis, baik nilai material, nilai vital,
nilai moral, maupun nilai kesucian yang sitematis-hierarkhis, yang dimulai dari
sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar sampai dengan sila keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai tujuan.
2.3
Pancasila Sebagai Ideoogi Bangsa dan Negara Indonesia
1.
Pengertian Ideologi
Secara etimologis, ideologi bersal dari bahasa
yunani yaitu eidos dan logos. Eidos berarti gagasan dan logos berarti
berbicara (ilmu). Maka secara etimologis ideologi adalah berbicara tentang
gagasan/ilmu yang mempelajari tentang gagasan. Gagasan yang dimaksud disini
adalah gagasan yang murni ada dan menjadi landasan atau pedoman dalam kehidupan
masyarakat yang ada atau berdomisili dalam wilayah negara di mana mereka
berada.
2.
Definisi Ideologi
Dalam beberapa
kasus atau referensi, dapat dilihat bahwa definisi ideologi ada beberapa macam.
Keanekaragaman definisi ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang keahlian dan
fungsi lembaga yang memberi defini tersebut. Hal ini terlihat pada definisi
berikut ini :
a.
Menurut
BP – 7 Pusat : Ideologi adalah ajaran, doktrin, teori yang diyakini
kebenarannya yang disusun secara sistematis dan diberi petunjuk pelaksanaan
dalam menanggapi dan menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam masyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
b.
Menurut
Prof. Dr. Maswadi Rauf, ahli ilmu politik Universitas Indonesia : Ideologi
adalah rangkaian (kumpulan) nilai yang disepakati bersama untuk menjadi
landasan atau pedoman dalam mencapai tujuan atau kesejahteraan bersama.
Berdasarkan
definisi Ideologi Pancasila di atas, dapat disimpulkan bahwa Pancasila adalah
kumpulan nilai/norma yang meliputi sila-sila Pancasila sebagaimana yang
tercantum dalam pembukaan UUD 1945, alenia IV yang telah ditetapkan pada
tanggal 18 agustus 1945.
Terkait dengan
soal penafsiran ideologi, secara pengelompokkan ideologi terbagi dalam dua
macam watak ideologi, yaitu ideologi tertutup dan ideologi terbuka. Dari kedua
ideologi tersebut dapat dipahami tentang pengertian dan ciri-cirinya,
sebagaimana terangkum seperti berikut:
a. Ideologi Tertutup
Ideologi
tertutup adalah ideologi yang bersifat mutlak. Dengan kata lain
bahwa Ideologi tertutup merupakan ajaran atau pandangan dunia atau
filsafat yang menentukan tujuan-tujuan dan norma-norma politik dan sosial, yang
ditasbihkan sebagai kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi, melainkan
harus diterima sebagai sesuatu yang sudah jadi dan harus dipatuhi.
Ciri-ciri
ideologi tertutup, adalah:
- Bukan
merupakan cita-cita yang sudah hidup dalam masyarakat, melainkan cita-cita
sebuah kelompok yang digunakan sebagai dasar untuk mengubah masyarakat.
- Apabila
kelompok tersebut berhasil menguasai Negara, ideologinya itu akan
dipaksakan pada masyarakat. Nilai-nilai, norma-norma, dan berbagai segi
kehidupan masyarakat akan diubah sesuai dengan ideologi tersebut.
- Bersifat
totaliter, artinya mencakup/ mengurusi semua bidang kehidupan. Karena itu,
ideologi tertutup ini cenderung cepat-cepat berusaha menguasai bidang
informasi dan pendidikan; sebab, kedua bidang tersebut merupakan sarana
efektif untuk mempengaruhi perilaku masyarakat.
- Pluralisme
pandagan dan kebudayaan ditiadakan, hak asasi tidak dihormati.
- Menuntut
masyarakat untuk memiliki kesetiaan total dan kesediaan untuk berkorban
bagi ideologi tersebut.
- Isi
ideologi tidak hanya nilai-nilai dan cita-cita, tetapi tuntutab-tuntutan
konkret dan operasional yang keras, mutlak, dan total.
b. Ideologi Terbuka
Ideologi
terbuka adalah ideologi yang tidak dimutlakkan. Dapat diartikan juga bahwa
nilai-nilai dan cita-citanya tidak dipaksakan dari luar, melainkan digali dan
diambil dari kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakatnya sendiri. Ideologi
terbuka merupakan ideologi yang dapat berinteraksi dengan perkembangan zaman
dan adanya dinamika secara internal.
Ciri-ciri
ideologi terbuka, adalah:
- Merupakan
kekayaan rohani, dan budaya masyarakat (filsafat). Jadi, bukan keyakinan
ideologis sekelompok orang, melainkan kesepakatan masyarakat.
- Tidak
diciptakan oleh Negara, tetapi ditemukan dalam masyarakat sendiri; ia
adalah milik seluruh rakyat, dan bisa digali dan ditemukan dalam kehidupan
mereka.
- Isinya
tidak langsung operasional. Sehingga, setiap generasi baru dapat dan perlu
menggali kembali falasafah tersebut dan mencari implikasinya dalam situasi
kekinian mereka.
- Tidak
pernah memperkosa kebebasan dan tanggungjawab masyarakat, melainkan
menginspirasi masyarakat untuk berusaha hidup bertanggungjawab sesuai
dengan filsafat itu.
- Menghargai
pluraritas, sehingga dapat diterima warga masyarakat yang berasal dari
berbagai latar belakang budaya dan agama.
3.
Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka
Pancasila
sebagai ideologi Terbuka, maksudnya adalah ideologi Pancasila dapat mengikuti
perkembangan yang terjadi pada negara lain yang memiliki ideologi berbeda
dengan Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan
karena ideologi pancasila memiliki nilai-nilai yang meliputi :
a.
Nilai
Dasar
Nilai dasar
adalah nilai yang ada dalam ideologi Pancasila yang merupakan representasi dari
nilai atau norma dalam masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Nilai dasar
merupakan nilai yang tidak bisa diubah-ubah sepanjang bangsa Indonesia
berpedoman pada nilai tersebut. Contoh nilai dasar adalah sila-sila Pancasila
yang ada dalam alinea IV, UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 agustus 1945
b.
Nilai
Instrumental
Nilai
Instrumental adalah nilai yang merupakan pendukung utama dari nilai dasar
(Pancasila). Nilai ini dapat mengikuti setiap perkembangan zaman, baik dalam
negeri maupun dari luar negeri. Nilai ini dapat berupa Tap MPR, UU, PP dan peraturan
perundangan yang ada untuk menjadi tatanan dalam pelaksanaan ideologi Pancasila
sebagai pegangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai dapat berubah
sesuai perkembangan zaman.
c.
Nilai
Praktis
Nilai ini yang
harus ada dalam praktik penyelenggaraan negara. Sifat nilai ini adalah abstrak.
Artinya berupa semangat para penyelenggara negara dari pusta hingga ke tingkat
yang terbawah dalam struktur sistem pemerintah negara Indonesia. Semangat yang
dimaksud adalah semangat para penyelenggara negara untuk membangun sila dalam
Pancasila secara konsekuen dan istiqomah. Contoh, memberi teladan untuk tidak
KKN, dan lain-lain.
4.
Fungsi dan Peranan Pancasila dalam Kehidupan Bermasyarakat,
Berbangsa, dan Bernegara
Fungsi dan peranan Pancasila
meliputi :
a.
Pancasila
sebagai jiwa bangsa Indonesia
b.
Pancasila
sebagai kepribadian bangsa Indonesia
c.
Pancasila
sebagai dasar negara Repubilk Indonesia
d.
Pancasila
sebagai sumber segala sumber hukum di Indonesia
e.
Pancasila
sebagai perjanjian luhur Indonesia
f.
Pancasila
sebagai pandangan hidup yang mempersatukan bagsa Indonesia
g.
Pancasila
sebagai cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia
h.
Pancasila
sebagai moral pembangunan
i.
Pembangunan
nasional sebagai pengamalan Pancasila.
2.4 Filsafat Pancasila Sebagai Filsafat
Negara Indonesia
Filsafat
Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia, dapatlah kita temukan dalam
beberapa dokumen historis dan di dalam perundang-undangan negara Indonesia
seperti di bawah ini :
a.
Dalam Pidato Ir. Soekarno tanggal
1 Juni 1945.
b.
Dalam Naskah Politik yang
bersejarah, tanggal 22 Juni 1945 alinea IV yang kemudian dijadikan naskah
rancangan Pembukaan UUD 1945 (terkenal dengan sebutan Piagam Jakarta).
c.
Dalam naskah Pembukaan UUD
Proklamasi 1945, alinea IV.
d.
Dalam Mukadimah Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (RIS)
tanggal 27 Desember 1945,
alinea IV.
e.
Dalam Mukadimah UUD Sementara
Republik Indonesia (UUDS RI) tanggal 17 Agustus 1950.
f.
Dalam Pembukaan UUD 1945, alinea
IV setelah Dekrit Presiden RI
tanggal 5 Juli 1959.
Mengenai
perumusan dan tata urutan Pancasila yang tercantum dalam dokumen historis dan
perundang-undangan negara tersebut di atas adalah agak berlainan tetapi inti
dan fundamennya adalah tetap sama sebagai berikut :
1.
Pancasila
Sebagai Dasar Falsafat Negara Dalam Pidato Tanggal 1 Juni 1945 Oleh Ir.
Soekarno
Ir.
Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 untuk pertamakalinya
mengusulkan falsafah negara Indonesia dengan perumusan dan tata urutannya
sebagai berikut :
Ø Kebangsaan
Indonesia.
Ø Internasionalisme
atau Prikemanusiaan.
Ø Mufakat
atau Demokrasi.
Ø Kesejahteraan
sosial.
Ø Ketuhanan.
2.
Pancasila
Sebagai Dasar Falsafah Negara Dalam Naskah Politik Yang Bersejarah (Piagam
Jakarta Tanggal 22 Juni 1945)
Badan
Penyelidik Persiapan Kemerdekaan (BPPK) yang Istilah Jepangnya Dokuritsu Jumbi
Cosakai, telah membentuk beberapa panitia kerja yaitu :
a.
Panitia Perumus terdiri atas 9
orang tokoh, pada tanggal 22 Juni 1945, telah berhasil menyusun sebuah naskah
politik yang sangat bersejarah dengan nama Piagam Jakarta, selanjutnya pada
tanggal 18 Agustus 1945, naskah itulah yang ditetapkan sebagai naskah rancangan
Pembukaan UUD 1945.
b.
Panitia Perancang Undang-Undang
Dasar yang diketuai oleh Ir. Soekarno yang kemudian membentuk Panitia Kecil
Perancang UUD yang diketuai oleh Prof. Mr. Dr. Soepomo, Panitia ini berhasil
menyusun suatu rancangan UUD-RI.
c.
Panitia Ekonomi dan Keuangan yang
diketuai oleh Drs. Mohammad Hatta.
d.
Panitia Pembelaan Tanah Air, yang
diketuai oleh Abikusno Tjokrosujoso.
Untuk
pertama kalinya filsafat Pancasila sebagai filsafat negara dicantumkan autentik
tertulis di dalam alinea IV dengan perumusan dan tata urutan sebagai berikut :
Ø Ketuhanan,
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Ø Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab.
Ø Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan.
Ø Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3.
Pancasila
Sebagai Dasar Falsafah Negara Dalam Pembukaan UUD 1945
Sesudah
BPPK (Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan) merampungkan tugasnya dengan
baik, maka dibubarkan dan pada tanggal 9 Agustus 1945, sebagai
penggantinya dibentuk PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Pada
tanggal 17 Agustus 1945, dikumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh
Ir. Soekarno di Pengangsaan Timur 56 Jakarta yang disaksikan oleh PPKI
tersebut.
Keesokan
harinya pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI mengadakan sidangnya yang pertama
dengan mengambil keputusan penting :
a.
Mensahkan dan menetapkan
Pembukaan UUD 1945.
b.
Mensahkan dan menetapkan UUD
1945.
c.
Memilih dan mengangkat Ketua dan
Wakil Ketua PPKI yaitu Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta, masing-masing
sebagai Presiden RI dan Wakil Presiden RI.
Tugas
pekerjaan Presiden RI untuk sementara waktu dibantu oleh sebuah badan yaitu
KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dan pada tanggal 19 Agustus 1945 PPKI
memutuskan, Pembagian wilayah Indonesia ke dalam 8 propinsi dan setiap propinsi
dibagi dalam karesidenan-karesidenan. Juga menetapkan pembentukan
Departemen-departemen Pemerintahan.
Dalam
Pembukaan UUD Proklamasi 1945 alinea IV yang disahkan oleh PPPKI pada tanggal
18 Agustus 1945 itulah Pancasila dicantumkan secara resmi, autentik dan sah
menurut hukum sebagai dasar falsafah negara RI, dengan perumusan dan tata
urutan sebagai berikut :
Ø Kemanusiaan
yang adil dan beradab.
Ø Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan.
Ø Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Filsafat adalah suatu azas atau pendirian hidup yang paling mendasar, dan
ilmu yang menyelidiki hakikat terdalam dari segala sesuatu. Sedangkan
filsafat Pancasila adalah hasil dari pemikiran yang paling dalam yang dianggap,
dipercaya dan sangat diyakini sebagai sesuatu (norma-norma dan nilai-nilai)
yang paling dianggap benar, paling adil, paling bijaksana, paling baik dan
paling sesuai untuk bangsa Indonesia.
Ideologi adalah
ajaran, doktrin, teori yang diyakini kebenarannya yang disusun secara
sistematis dan diberi petunjuk pelaksanaan dalam menanggapi dan menyelesaikan
masalah yang dihadapi dalam masyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dasar – dasar
Pancasila sebagai sistem filsafat teridiri dari tiga macam yaitu ontologis,
epsitomologis, dan aksiologis. Pancasila dipakai sebagai ideologi bangsa
Indonesia karena Pancasila merupakan Ideologi terbuka yang bergerak dinamis dan
mengikut perkembangan zaman. Pancasila memiliki nilai – nilai, yaitu , nilai
dasar, nilai instrumental, dan nilai Praktis yang bersifat abstrak.
3.2 Saran
Menyadari
bahwa makalah yang kami buat masih jauh dari kata sempurna, kedepannya kami
akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan
sumber - sumber yang lebih banyak yang tentunga dapat di pertanggungjawabkan. Untuk itu, dibutuhkan kritik dan saran
terhadap penulisan dan tanggapan terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang
telah di jelaskan.
DAFTAR PUSTAKA
Kaelan, (2003), Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta
Srijanti, et al, (2007), Etika Berwarga Negara Pendidikan
Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi, Salemba Empat, Jakarta
Syarbaini, S., (2006), Membangun Karakter dan Kepribadian
Melalui Pendidikan Kewarganegaraan, Graha Ilmu, Yogyakarta
Posting Komentar
Silahkan berkomentar dengan menggunakan bahasa yang baik dan sopan :)